Judul: Make It Right
Karya: ViaViiaa
Disarankan untuk membaca cerpen-cerpen berikut terlebih dahulu, karena kisahnya saling berhubungan.
1. RUN
2. Your Eyes Tell
Part Sebelumnya :
“Safira, kamu saya pecat.”
Aku terdiam sejenak, masih tenggelam dalam keterkejutanku.
“M-maaf sajangnim, tapi salah saya apa ya?” ucapku sedikit bergetar.
“Berita tentang agensi kita melakukan suap agar salah satu idol agensi ini dimenangkan dalam sebuah acara award, saya sudah tahu kamu yang melakukannya.”
Sontak keningku berkerut, merasa aneh dengan ucapan sajangnim.
Aku memang mengetahui perihal suap tersebut, tapi tak pernah sedikitpun terbesit dalam benakku untuk mengungkapkannya pada media. Karena aku sangat paham dengan konsekuensi yang akan kuterima jika melakukan hal tersebut, karirku yang menjadi ancamannya. Tentu saja aku tak ingin hal itu terjadi.
“Maaf sajangnim, tapi saya tidak melakukannya. Saya bahkan baru mengetahui berita tersebut dari sajangnim.”
“Wartawan itu sendiri yang mengatakan bahwa dia diminta bertemu dengan seorang wanita bernama Safira yang bekerja sebagai fashion stylist di agensi ini. Dan wanita itu yang menceritakan perihal suap tersebut.” ucapnya menjelaskan, kemudian terdiam sejenak dan menatapku dengan tatapan mengintimidasi.
“Dan saya tahu betul bahwa hanya ada satu Safira di agensi ini.” lanjutnya.
“T-tapi sajangnim, saya benar-benar tidak melakukannya.” ucapku bergetar, menahan mati-matian agar air mataku tidak terjatuh.
“Bukti sudah jelas Safira. Saya tidak bisa lagi melanjutkan kontrak kamu. Tolong segera bereskan barang-barang kamu, dan besok akan kita kirimkan gaji terakhir kamu. Hari ini adalah hari terakhir kamu bekerja disini.” ucapnya dengan tegas, seolah menekankan bahwa keputusannya tak lagi dapat diubah.
Aku hanya mampu menunduk dalam, kemudian beranjak pergi dari ruangan tersebut bersamaan dengan air mata yang tak mampu lagi kutahan.
Karirku hancur dalam sekejap. Bahkan karena kesalahan yang tak pernah kuperbuat.
Aku merasa tak pernah membuat masalah dengan staff di agensi ini, sehingga sangat ganjil bagiku untuk berpikir ada yang dengan sengaja memfitnahku.
Lagipula untuk tujuan apa? Posisiku di agensi ini pun bukanlah posisi sangat penting yang membuat banyak orang menjadi iri dan tidak senang.
Lantas, karena alasan apa?
Aku terdiam di salah satu bilik toilet, menangis dalam diam. Meratapi betapa sakitnya harus kehilangan karir yang sangat kucintai ini.
Ditambah dengan alasan pemecatanku adalah sebagai “penyebar isu”. Yang dikabarkan sebagai alasan pemecatan yang mampu membuat seseorang akan sulit mendapat pekerjaan.
Tangisanku semakin tak terkendali membayangkan apa yang akan kulakukan setelah ini.
“Kita berhasil! Dia akhirnya dipecat. Idemu dengan menggunakan cara itu benar-benar cerdas. Setelah ini pun dia pasti akan sulit mendapat pekerjaan.” ucap seseorang yang baru saja memasuki toilet.
Aku tak mampu melihat wajahnya karena posisiku yang berada didalam bilik paling pojok dengan pintu yang tertutup dan terkunci.
Tapi aku sangat mengenali suara ini.
Hyejin.
Sontak aku menahan tangisku agar tak menimbulkan suara.
“Ya, kau benar. Salah sendiri berpacaran dengan Jung-Hwa. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak menyadari baju yang ia gunakan di foto itu. Dan lagi apa-apaan dengan wallpaper ponselnya. Foto berdua dengan Jung-Hwa? Astaga, rasanya aku ingin marah saat melihatnya.”
” . . . ”
“Kau benar, untung aku bisa menahan amarahku. Melihatnya dipecat jauh lebih membuatku senang.” ucapnya kemudian tertawa lepas.
” . . . ”
“Kau yakin rencana berikutnya akan berjalan lancar?”
” . . . ”
“Baiklah, aku menantikannya. Kuharap mereka segera putus. Aku tidak rela jika Jung-Hwa harus berpacaran dengan Safira.”
” . . . ”
“Iya, lakukan dengan benar. Jangan sampai ada kesalahan.”
Setelah itu hanya terdengar suara air dari wastafel dan langkah kaki yang semakin menjauh.
Detik berikutnya, air mataku kembali menetes. Bahkan mengalir deras hingga sulit untuk kuhentikan.
“Jadi Hyejin ngefans Jung-Hwa?”
“Tidak, dia bahkan lebih dari fans normal. Tindakannya benar-benar keterlaluan.” ucapku semakin menumpahkan tangisanku.
Tapi semuanya percuma. Mengetahui siapa pelaku sesungguhnya, serta alasannya tak mampu merubah keadaan. Sajangnim sudah sangat yakin jika akulah pelakunya. Dan aku yang meskipun mengetahui kebenarannya, tak memiliki satu pun bukti kuat untuk diberikan pada sajangnim.
“Jung-Hwa, sakit. Rasanya sakit sekali.” ucapku lirih.
Detik berikutnya kurasakan ponselku bergetar.
Jung-Hwa is calling . . .
Tangisku semakin pecah saat melihat layar ponselku.
“Bagaimana bisa kamu selalu datang disaat seperti ini? Bahkan sebelum aku menceritakannya?”
Kudiamkan ponselku hingga panggilan dari Jung-Hwa berakhir.
Sengaja mengabaikan panggilan tersebut, karena aku tak ingin Jung-Hwa khawatir dan kepikiran hingga fokusnya menjadi kacau ditengah kesibukan tour nya.
Biarlah kusimpan rasa sakit ini sendirian sampai ia kembali ke Seoul.
***
Dua minggu berlalu sejak hari pemecatanku. Butuh waktu tiga hari bagiku untuk melupakan segala kesedihan dan rasa sakit atas hancurnya karir yang kuinginkan sejak lama. Dan sesuai dugaanku, dipecat atas alasan “penyebar isu” benar-benar membuatku sulit mendapat pekerjaan.
Terbukti dari semua lamaran pekerjaanku yang ditolak. Bahkan pada posisi pekerjaan yang tak membutuhkan pengalaman dan gaji minimal pun aku ditolak. Entah bagaimana caranya berita tentang alasanku dipecat seolah dengan mudahnya tersebar bagai angin yang berhembus.
Beruntung aku masih memiliki waktu tiga bulan sebelum masa sewa apartemenku berakhir. Karena jika setelah itu aku belum juga mendapat pekerjaan, sepertinya tak ada pilihan lain selain aku pulang ke Indonesia. Sebenarnya bisa saja aku menggunakan tabungan untuk membayar uang sewa, tetapi tidak. Percuma jika mampu membayar biaya sewa untuk setahun kedepan, tetapi aku tidak memiliki penghasilan lagi. Bagaimana dengan biaya hidupku?
Tingtong! Tingtong!
“Eh? Siapa malam-malam gini?”
Segera membuka pintu dan betapa terkejutnya aku saat mendapati Jung-Hwa yang sedang berdiri dihadapanku. Antara sedih dan senang, tak tahu perasaan mana yang harus kuungkapkan sekarang.
Sedih atas masalahku yang juga belum kuceritakan pada Jung-Hwa.
Tetapi senang saat mendapati ia yang kini berdiri dihadapanku setelah satu bulan lebih tidak bertemu secara langsung.
“Tunggu,. ada apa dengan tatapan itu?” tanyaku dalam hati saat menyadari tatapan Jung-Hwa yang tampak berbeda.
Bukan tatapan normal dari seseorang yang sedang melepas rindu, namun lebih pada tatapan kesedihan.
Detik berikutnya lamunanku berakhir saat Jung-Hwa tiba-tiba memelukku, sedikit mendorong agar masuk ke dalam apartemen dan membiarkan pintu tertutup dengan sendirinya.
“M-maafkan aku. Maafkan aku.” ucapnya dengan tubuh yang bergetar. Dapat kurasakan pundakku yang sedikit basah.
“Jung-Hwa menangis? Tunggu, dia meminta maaf? Apa dia sudah mengetahui semuanya?” tanyaku dalam hati.
——— BERSAMBUNG ———
Baca Juga: