[PART 5 - LAST] Your Eyes Tell
Cerpen

[PART 6 – LAST] Your Eyes Tell


Judul: Your Eyes Tell
Karya: ViaViiaa

 

Disarankan untuk membaca cerpen RUN terlebih dahulu. Klik disini untuk baca.

 

Part Sebelumnya :

 


 

Satu tahun yang lalu, dua bulan sebelum Safira bekerja di agensi yang menaungi VOP . . .

 

“Jung-Hwa, sajangnim tidak setuju dengan Safira” ucap manajer sedikit berbisik saat berdiri tepat disebelahku yang sedang menunggu giliran untuk rekaman.

“Apa maksudnya hyung? Bukankah kemampuannya sudah terbukti?” balasku juga dengan sedikit berbisik.

“Iya, tapi dia belum menikah”

“Memangnya syarat itu sangat penting ya sampai sajangnim tidak setuju hanya karena itu?”

Manajerku hanya terdiam sesaat, kemudian mengangguk.

“Apa aku bisa bertemu dengan sajangnim sekarang hyung?”

Sontak manajer menatapku penuh tanda tanya.

“Aku ingin coba bicara dengan sajangnim tentang hal ini” lanjutku.

***

“Ada apa Jung-Hwa?” tanya sajangnim setelah mempersilahkanku serta manajer masuk ke ruangan dan duduk pada kursi didepan mejanya.

“Tentang calon fashion stylist VOP yang bernama Safira”

“Oh, saya dengar kamu yang merekomendasikannya ya? Maaf Jung-Hwa saya tidak bisa menerimanya”

“Karena dia belum menikah?”

Sajangnim hanya berdehem kemudian mengangguk.

“Kalau begitu tahun depan saya tidak akan memperpanjang kontrak.” ucapku lantang.

Sontak sajangnim dan manajer melihat ke arahku. Menatap penuh dengan ekspresi terkejut dan tidak percaya.

“Apa yang kamu lakukan Jung-Hwa?” bisik manajer yang berada di sebelah kiriku.

Aku tidak menjawabnya, masih mempertahankan pandangan ke arah sajangnim yang berada didepanku.

“Siapa sebenarnya Safira ini sampai kamu bertindak sejauh itu?” tanya sajangnim lengkap dengan ekspresi penuh tanda tanya, seolah masih tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan.

Sajangnim tidak perlu tahu siapa dia. Bukankah yang terpenting dia memiliki kemampuan yang bagus?”

“Ya, kemampuannya memang lumayan untuk seseorang yang belum memiliki pengalaman. Tapi saya tetap tidak bisa mengabaikan aturan yang ada.”

“Oke, artinya sajangnim setuju jika tahun depan saya tidak melanjutkan kontrak.”

“Jung-Hwa” bisik manajer dengan sedikit menggerakkan lenganku.

“Baiklah, tapi saya juga punya syarat. Safira akan saya terima bekerja disini, dengan syarat VOP, khususnya kamu Jung-Hwa, tidak boleh dekat dengan Safira. Kalian hanya boleh bertemu saat urusan pekerjaan, bertukar nomor ponsel juga tidak boleh. Bagaimana?”

Aku terdiam sejenak. Syarat itu cukup berat, karena tujuanku membuatnya berkerja disini adalah untuk bisa dekat dengannya.

Tapi sedikitnya itu lebih baik daripada kondisiku sekarang yang bahkan untuk bertemu saja sangat sulit, apalagi berkenalan dan dekat dengannya.

“Iya, saya setuju sajangnim

***

Hyung, sepertinya setelah ini aku akan membutuhkan banyak bantuanmu” ucapku setelah keluar dari ruangan sajangnim bersama dengan manajer.

Detik berikutnya manajer hanya mampu terdiam sesaat kemudian memastikan apakah aku yakin dengan rencana ini, yang tentu saja kujawab dengan anggukan mantap. Manajer hanya mampu mengehembuskan napas kasar namun juga tetap menyetujui permintaanku.

Karena setelah ini manajer akan membantu menutupi semua hal tentang aku dan Safira noona.

 

 

 

 

 

Kembali ke saat ini . . .

 

Aku menghubungi kakak iparku, istri dari Dae-Jung hyung untuk meminta bantuan. Karena hanya dia yang dapat membantu rencanaku.

“Kamu yakin dengan rencana ini Jung-Hwa? Kalau dia punya perasaan yang sama denganmu pasti akan menyakitkan saat melihatnya nanti.” tanya Yun-Hee noona yang duduk di sebelah kananku.

Aku terdiam sejenak, menatap ruangan practice room yang luas namun kosong.

“Iya, aku yakin. Ini juga demi karir yang sangat ia inginkan sejak lama” jawabku, masih dengan menikmati kekosongan ruangan practice room.

Lamunanku terhenti saat samar-samar mendengar suara langkah kaki. Aku segera menuju pintu practice room, berusaha memastikan apa yang baru saja kudengar. Dan benar saja, ada suara langkah kaki pelan dari arah tangga yang berada tepat di samping practice room.

Sedikit berlari aku kembali ke tempat semula.

“Itu dia” ucapku sedikit berbisik pada Yun-Hee noona.

Kami pun bersiap sesuai rencana. Berdiri menghadap satu sama lain, dengan Yun-Hee noona yang membelakangi pintu sedangkan aku menghadap pintu dan kaca besar yang ada disebelahnya.

Sedikit memiringkan wajahku agar dapat terlihat dari luar, sambil memegang pipi kanan dan kiri Yun-Hee noona. Juga dengan kedua lengan Yun-Hee noona yang dikalungkan ke leherku.

Aku memejamkan mata saat merasa langkah kaki yang tadi kudengar semakin mendekat. Bersamaan dengan wajah yang semakin kudekatkan dengan Yun-Hee noona.

Membuat kami terlihat seperti sedang berciuman, jika dari arah pintu practice room.

Masih dengan mata yang tertutup aku mendengar langkah kaki itu berhenti tak jauh dari posisiku, seperti berada tepat didepan ruangan practice room.

“Pasti dia sekarang sedang melihat ini semua dari balik kaca besar itu” ucapku dalam hati.

Detik berikutnya aku kembali mendengar langkah kaki tersebut namun dengan tempo yang lebih cepat, hingga kemudian hilang dari pendengaranku.

“Dia sudah pergi” ucapku setelah membuka mata dan memastikan tidak ada orang didepan ruangan practice room.

Aku duduk dan bersandar pada dinding yang tak jauh dari tempatku berdiri setelah Yun-Hee noona melepas kedua lengannya dari leherku.

Menutup wajah dengan kedua telapat tangaku, membiarkan air mata ini mengalir hingga sulit untuk kuhentikan.

“Tenanglah Jung-Hwa. Ingat kembali alasan kamu melakukan ini.” ucap Yung-Hee noona yang berada di sebelah kananku sambil mengusap lembut punggungku.

Aku hanya menjawabnya dengan sedikit mengangguk.

Aku tidak tahu apa yang kuinginkan setelah ini. Disatu sisi aku ingin Safira noona baik-baik saja setelah melihat kejadian barusan, tapi jika begitu artinya ia tidak memiliki perasaan apapun padaku dan itu sedikit menyakitkan. Dilain sisi aku ingin dia sedih melihat kejadian barusan karena itu artinya dia memiliki perasaan yang sama denganku, tapi aku tidak ingin melihatnya bersedih apalagi merasakan sakit hati.

Serba salah, apapun yang kuharapkan tidak ada yang berakhir baik. Aku sudah tak mampu lagi membayangkan apa yang terjadi setelah ini.

Harapanku hanya satu, semoga setelah ini ia menjauhiku agar karirnya baik-baik saja.

***

Tiga hari berlalu sejak kejadian di practice room, dan selama itu pula Safira noona tidak datang tanpa kabar apapun.

Aku menjadi yakin jika rencanaku berhasil, tapi tampaknya bersamaan dengan itu ada hati yang kini telah kusakiti. Penyesalanku semakin bertambaah karena kini aku sama sekali tak mampu berbuat apapun. Sesuai janjiku pada sajangnim, aku tak lagi bisa berdekatan dengan Safira noona. Bahkan manajer pun tak lagi mampu membantuku karena adanya satu bodyguard yang khusus disewa oleh sajangnim untuk memastikan jika aku menjalankan syarat itu dengan baik.

“Bodoh! Aku yang berjanji untuk membuatnya selalu tersenyum, tapi aku juga yang melanggar janji itu dan membuatnya merasakan sakit hati” ucapku sambil menarik rambut dengan cukup kencang.

Kemudian air mataku kembali terjatuh.

Perasaan sakit itu telah datang bahkan sejak kejadian tiga hari yang lalu. Sebuah perasaan sakit karena harus menjauh darinya, ditambah dengan perasaan sakit karena membuatnya sedih. Lebih parahnya lagi kini aku telah membuatnya merasakan sakit hati.

Yang seharusnya tidak akan pernah kulakukan jika bukan karena keadaan yang memaksa, seperti sekarang.

Dua tahun aku hanya mengumpulkan informasi tentang Safira noona, sekedar untuk mengetahui kabarnya, dan selalu berharap dia baik-baik saja. Kemudian doaku untuk berkenalan dan dekat dengannya akhirnya terkabul selama satu tahun ini.

Semua berjalan lancar, aku bahagia sekali saat berhasil dekat dengannya. Hingga muncul sebuah keyakinan jika dia adalah orang yang aku cintai kemarin, saat ini, dan esok hari, selamanya.

Tapi sepertinya aku terlalu sombong dengan keyakinan itu hingga membuatku lupa akan kenyataan. Sebuah realita yang tidak mengijinkanku untuk bersama dengannya.

Tangisanku semakin tak mampu kuhentikan saat otakku kembali memutar memori setiap aku melihat matanya. Yang bahkan sejak detik pertama pertemuan kami telah berhasil mencuri perhatianku.

Membayangkan harus melihat kembali tatapan mata dengan bayangan kesedihan itu membuatku semakin larut dalam tangisan yang menggema di kamar bersamaan dengan malam yang semakin larut dan sunyi.

***

Aku berdiri tepat didepannya, membiarkan jari jemari itu menata pakaian dan aksesorisku. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap diantara kami, kecuali aku yang sesekali melirik kearahnya.

Sedikitnya aku merasa lega karena Safira noona akhirnya kembali dan tidak mendapat hukuman apapun dari sajangnim, kecuali sebuah Surat Peringatan. Namun, perasaan lega itu sedikitnya luntur saat aku melihat tatapan matanya yang kembali seperti saat aku pertama kali bertemu dengannya.

Hatiku semakin teriris saat melihat matanya yang tampak sembab dan bengkak. Sangat bisa ditebak jika ia pasti menangis cukup lama, atau bahkan sangat lama?

“Maafkan aku noona” ucapku dalam hati sambil melihatnya yang sedang fokus memasangkan aksesoris pada pakaianku.

 

 

 

 

Dua bulan berlalu dan aku dikejutkan dengan informasi bahwa Safira noona tidak melanjutkan kontraknya. Bukan karena sajangnim, tetapi karena memang dia sendiri yang tidak ingin melanjutkannya.

Jarak kami yang telah jauh sejak dua bulan lalu kini semakin jauh, bahkan mungkin akan semakin sulit untuk kuraih kembali. Karena hati yang selama ini ingin kubahagiakan, nyatanya telah berhasil kusakiti.

Dari jauh aku hanya mampu berharap, semoga ada orang lain yang lebih baik dariku mampu membuat bayangan kesedihan dari kedua bola mata itu menghilang. Kemudian menggantinya dengan bayangan kebahagiaan.

Lamunanku terhenti saat mendengar suara seseorang dibalik dinding practice room tempatku duduk dan bersandar yang tak jauh dari pintu.

“Jung-Hwa aku sudah tidak bisa lagi berada disisimu. Ini semua karena kebodohanku yang telah membiarkan perasaan ini jatuh semakin dalam, membuatku lupa diri. Jika aku tetap berada di tempat ini maka jalanku akan terhenti, impianku akan berhenti, kehidupanku tidak lagi cerah seperti sebelumnya.”

“Lagipula aku juga lelah menangis setiap hari. Sekarang aku mau memulai kembali semuanya. Masih banyak keinginan yang harus kuraih, atau setidaknya aku ingin mempertahankan karirku ini hingga pada titik tertingginya. Membiarkan kaki ini membawaku berlari menggapai keinginan itu, tanpa ada kamu.”

Aku menumpukan wajah diatas kedua lengan yang juga bertumpu pada lututku. Membiarkan air mata terus mengalir dalam keheningan saat mendengar setiap kata yang terucap oleh orang tersebut. Yang sangat kuyakini adalah Safira noona, karena suara itu sungguh sangat kukenali.

Setelah mendengar langkah kakinya yang semakin menjauh, aku keluar dari ruangan practice room yang gelap, melihat kearah pintu keluar agensi yang tak lagi menampakkan sosoknya. Kemudian pandanganku beralih kebawah dan mendapati sebuah gelang yang sangat kukenali.

“Apa ini artinya noona benar-benar ingin melupakanku? Bahkan gelang pemberianku pun tidak ingin noona gunakan lagi?” ucapku menatap miris gelang dengan bentuk bulan ditengahnya yang kini berada di tanganku.

Aku sudah melukai hatinya, tentu saja ia ingin melupakanku. Memangnya apa yang dapat kuharapkan?

Kupasangkan gelang tersebut di lengan kiriku, berdampingan dengan gelang lain yang memiliki bentuk bintang ditengahnya.

“Aku mencintamu noona, sangat. Bahkan aku tidak yakin jika perasaan ini dapat hilang begitu saja.” ucapku sambil menatap kedua gelangku, bulan dan bintang.

“Maaf karena sudah membuatmu merasakan sakit, tapi aku pun merasakan hal yang sama noona. Bahkan aku tidak tahu bagaimana cara menyembuhkannya.”

“Apa menurut noona waktu akan menyembuhkan rasa xsakit ini?”

 

 

——— SELESAI ———

Baca Juga:


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top