[PART 4] Your Eyes Tell
Cerpen

[PART 4] Your Eyes Tell


Judul: Your Eyes Tell
Karya: ViaViiaa

 

Disarankan untuk membaca cerpen RUN terlebih dahulu. Klik disini untuk baca.

 

Part Sebelumnya :

 


“Salam kenal semuanya, saya biasa dipanggil Safira. Mohon bimbingan dan kerjasamanya” ucap seorang cewek yang baru saja diperkenalkan oleh HRD, dan dibalas ramah oleh semua yang berada di ruangan kami, termasuk beberapa anggota VOP yang telah selesai makeup.

Sedangkan aku hanya mampu tersenyum singkat melalui pantulan kaca meja rias sambil sedikit mengangguk. Namun, yang orang lain tak mampu ketahui adalah hatiku yang sedang tersenyum lebar.

Setelah pemotretan berakhir, VOP melakukan latihan vokal dan koreografi untuk persiapan comeback show.

Hyung, aku mau ke tempat itu sebentar ya” ucapku pada leader VOP.

“Iya, tapi jangan lama-lama. Sebentar lagi kita mau balik ke dorm

“Oke hyung” ucapku antusias, kemudian segera berlalu meninggalkan practice room.

“Loh? Pintunya kok terbuka?” ucapku penuh tanya saat melihat pintu rooftop yang terbuka. Karena biasanya pintu tersebut selalu tertutup, tidak banyak orang yang tertarik dengan rooftop gedung ini.

Aku melewati pintu yang terbuka kemudian terkejut saat hampir menabrak seorang cewek.

“Oh?” ucapnya yang juga tampak terkejut, kemudian membungkuk singkat.

“Maaf, permisi” lanjutnya, kembali membungkuk singkat kemudian melewatiku dan mulai menuruni tangga.

“Tunggu!” ucapku lantang.

“Ya?” tanya cewek tersebut sambil menoleh kearahku.

“Ehm,. bisa temani aku sebentar? Sekedar untuk ngobrol?” tanyaku sambil mengangkat dua kotak susu pisang yang kubawa.

Hening, dia hanya terdiam untuk beberapa saat, melihat ponselnya sejenak kemudian kembali menatapku.

“Baiklah” ucapnya.

“Ini” aku memberikan satu kotak susu pisang saat kami telah duduk di sebuah kursi panjang yang tidak jauh dari pinggiran rooftop.

“Ehm,. Noona ingat aku kan?” tanyaku, sedikit menahan rasa gugup yang perlahan muncul ke permukaan.

“Tentu saja, kamu salah satu anggota VOP yang tadi sedang makeup kan?”

Aku sontak menoleh ke kanan.

Noona tidak tahu namaku?”

Ia kemudian menoleh kearahku, sedikit tersenyum canggung kemudian menggeleng pelan.

“Tapi noona tau VOP kan?”

“Iya, aku tahu VOP. Kalian kan sangat terkenal. Tapi aku ngga pernah tahu nama dari masing-masing anggotanya, karena kurang tertarik untuk mencari tahu hehe” ucapnya dengan sedikit tertawa canggung.

Entah kenapa sedikitnya aku merasa senang saat mendengar kalimat tersebut.

“Baiklah, kalau begitu mari berkenalan” ucapku lantang.

“Namaku Jung-Hwa, maknae dari VOP” ucapku lantang sambil mengulurkan tangan kananku.

Disambutnya uluran tanganku, kemudian dia berkata “Namaku . . .”

“Iya tahu, Safira kan? Dan karena aku satu tahun lebih muda, kupanggil Safira noona yaa” sahutku memotong ucapannya, lengkap dengan senyuman.

“Iya” ucapnya kemudian tersenyum.

Deg!

Lagi-lagi debaran itu datang saat melihat senyum tersebut, namun pada saat yang sama pula aku merasakan kesedihan saat melihat kedua bola matanya.

“Sebenarnya apa maksud dari perasaan ini?” tanyaku dalam hati.

Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Karena detik ini aku hanya ingin menikmati waktu berhargaku bersamanya. Hari yang kutunggu telah tiba, dimana kami akhirnya dapat berkenalan secara langsung. Saling mengetahui nama masing-masing, saling mengenal satu sama lain.

***

 

Sambil menunggu member lainnya selesai makeup, aku duduk di salah satu sofa panjang dengan memainkan ponsel. Fokus dengan game yang sedang kumainkan.

“Astaga! Padahal sedikit lagi aku menang!” gumamku, sedikit merasa kesal karena tidak bisa memenangkan permainan tersebut.

Aku melihat sekeliling yang masih sibuk dengan kegiatan masing-masing, kemudian pandanganku tertuju pada Safira noona yang baru saja masuk ke ruangan dengan membawa ponsel di tangan kanannya, seperti baru selesai menerima panggilan telepon.

Yang menjadi perhatianku selanjutnya adalah ekspresi wajahnya yang terlihat sedih.

“Apa yang terjadi?” tanyaku dalam hati.

 

 

Malam hari, saat perjalanan pulang menuju dorm, aku meminta diantarkan ke gedung agensi. Entah dorongan darimana, aku sangat ingin pergi ke rooftop.

Deg!

Benar saja, tiba di rooftop aku justru menemukannya. Sedang duduk di kursi panjang yang tak jauh dari pinggiran rooftop.

“Noona” ucapku pelan saat berdiri tepat di sebelah kanannya.

“Eh? Jung-Hwa? Hai” ucapnya dengan sedikit tersenyum.

“Sedang apa?” tanyaku setelah duduk di sebelah kirinya.

“Ehm,. Hanya menikmati suasana malam” jawabnya sambil melihat ke arah langit malam.

Aku terdiam sejenak, melihat kearahnya. Berusaha meyakinkan diriku sendiri jika mungkin inilah saat yang tepat untuk mencari jawaban atas pertanyaanku selama ini.

“Apa noona baik-baik saja?”

Sontak dia menoleh kekiri, menatapku dengan bingung.

“Aku baik-baik saja kok” ucapnya dengan sedikit tersenyum.

Aku memalingkan wajahku menatap langit malam.

“Maaf sebelumnya noona, entah kenapa aku merasa itu semua hanya topeng.”

“Maksudnya?”

“Aku tahu selama ini noona tersenyum, tertawa, memperlihatkan seolah semuanya baik-baik saja, tidak ada masalah apapun. Tapi kenapa ya aku selalu merasa ada kesedihan dan kesulitan yang noona simpan sendiri, tidak pernah menceritakannya pada siapapun. Aku selalu merasa ada sedikit kesedihan di setiap senyum noona. Seolah itu bukan senyuman yang sepenuhnya diselimuti kebahagiaan.”

Aku terdiam sejenak, kemudian mengalihkan pandanganku kearahnya.

“Apa aku salah?” lanjutku.

Detik berikutnya aku terkejut saat melihat air mata jatuh dari kedua bola matanya.

Noona?”

“Ah? Iya? Maaf” ucapnya terkejut, kemudian mengusap air matanya.

Sontak aku menahan usapan tangannya.

“Katakan noona, ada apa?” ucapku menatap kedua bola mata itu.

Dia hanya terdiam, membiarkan air mata itu kembali jatuh dengan sendirinya.

I’ve no one except my parent” ucapnya pelan sambil menundukkan kepala, namun masih mampu kudengar dengan sangat jelas.

Perlahan kulepas genggamanku pada tangannya, namun tidak mengalihkan pandanganku sedikitpun darinya.

Dia menatapku sejenak, kemudian berpaling menatap langit malam.

“Aku punya banyak teman, aku juga punya beberapa sahabat dekat. Tapi tidak ada satupun diantara mereka yang selalu berada disisiku. Yah, aku paham mereka semua punya kesibukan masing-masing. Dan aku pun sadar diri bahwa mungkin aku memang bukan siapa-siapa bagi mereka.”

“Atau aku yang tidak tahu diri? Karena aku selalu berharap ditanya terlebih dahulu. Aku selalu ingin mereka peka dan sadar dengan kondisiku, meski tanpa aku ceritakan.”

“Saat aku sadar itu tidak mungkin terjadi, aku mencoba cerita masalahku ke mereka. Berharap mereka akan menghiburku dengan cara yang kuinginkan. Tapi ternyata itu tidak pernah terjadi.”

“Sepertinya memang tidak ada satupun diantara mereka yang benar-benar memahamiku.”

“Aku akhirnya memutuskan untuk tidak akan pernah menceritakan masalahku pada siapapun.”

“Bukankah itu menyesakkan?” tanyaku saat ia menghentikan ceritanya untuk sesaat.

Masih dengan menatap langit malam, ia hanya terdiam. Kulihat air matanya yang kembali terjatuh. Detik berikutnya ia memalingkan pandangan ke arahku.

“Yah, lumayan” ucapnya dengan sedikit tersenyum, namun juga dengan air mata yang terjatuh.

“Aku hanya bisa cerita dengan orang tuaku. Tapi itu pun tidak bisa sering karena hanya dapat melalui telepon atau video call. Dan tidak semua masalah bisa kuceritakan karena aku tidak ingin mereka khawatir.” ucapnya sambil kembali menatap langit malam.

“Tapi tidak masalah, aku sudah terbiasa dengan kondisi ini. Menyimpan masalahku sendiri bukan lagi hal sulit bagiku.” ucapnya lengkap dengan senyuman.

***

 

 

——— BERSAMBUNG ———

Part Selanjutnya :

 

Baca Juga:


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top