Judul: Dua Lelaki
Karya: ViaViiaa
Part Sebelumnya :
Dua bulan pun berlalu sejak aku dan Devon pergi nonton. Dan entah bagaimana semua ini dapat terjadi, aku dan Devon menjadi semakin dekat. Setiap aku butuh bantuan apapun itu Devon selalu datang untuk membantuku, bahkan ketika aku tak memintanya untuk datang. Hingga tanpa kusadari Devon telah menjadi salah satu orang penting bagiku.
Sambil menunggu mata kuliah pertama yang akan berlangsung lima belas menit lagi, aku duduk sejenak di sebuah bangku di taman kampus, memperhatikan mereka yang berlalu-lalang. Kulihat langit yang diselimuti sedikit awan gelap, membuat pikiran ini teringat berbagai kisah yang telah terukir di bangku ini.
Kurasa bangku ini dapat menjadi saksi tentang makna dari keberadaan Devon bagiku. Setiap aku merasa sedih, bangku ini selalu menjadi tujuanku. Melihat orang berlalu-lalang dengan dikelilingi rumput-rumput hijau serta beberapa bunga yang bermekaran di taman terkadang mampu membuat rasa sedihku berlalu begitu saja. Jika dulu aku selalu melalui itu semua sendiri, tidak dengan dua bulan terakhir.
Dia selalu datang setiap aku duduk di bangku ini. Aku tak pernah memintanya untuk datang, aku pun tak pernah memberitahunya tentang kondisiku setiap duduk di bangku ini. Tapi dia selalu datang dan menjadi orang yang membantu mengubur kesedihanku. Dia adalah Devon, satu angkatan denganku namun berbeda jurusan.
“Hei” ucap seseorang dengan lantang sambil menepuk lembut pundakku.
Aku memalingkan pandanganku, mencari sumber suara.
“Devon? Hei” balasku.
“Ngapain? Kamu kenapa?”
“Ah, dia selalu bertanya seperti itu setiap melihatku duduk disini” ucapku dalam hati.
“Nggak, nggak ngapa-ngapain kok. Cuma mau duduk aja sebentar” ucapku.
“Oh, yauda ke kelas yuk. Uda mau jam tujuh nih”
“Ohiya, yuk”
Kami pun berjalan bersamaan dan berpisah saat melewati kantin, kemudian menuju kelas masing-masing.
***
Aku duduk di meja makan, memainkan ponsel sambil menunggu Mama yang sedang menyiapkan makanan.
“Ayo makan sayang” ucap Mama.
“Iya, makasih Ma” balasku diiringi dengan tanganku yang mengambil nasi dan lauk.
“Papa hari ini nggak pulang Ma?” tanyaku.
“Enggak sayang, Papa hari ini lagi banyak kerjaan katanya, jadi lembur dan harus nginap di kantor”
“Ohh” balasku singkat, karena aku tahu persis bahwa Mama sekarang sedang berbohong.
Beberapa bulan belakangan ini Mama dan Papa memang sering bertengkar, entah karena apa. Pertikaian mereka selalu terdengar dari dalam kamarku yang berada di lantai dua. Aku tak pernah bertanya apapun tentang itu, karena Mama dan Papa selalu bersikap seolah semuanya baik-baik saja ketika sedang bersamaku. Namun, sikap baik tersebut tak mampu mengelabuhi perasaanku, karena hatiku tetap terasa sakit. Aku selalu takut membayangkan kemungkinan terburuk jika Mama dan Papa terus menerus bertengkar seperti itu.
Dua bulan terakhir Papa sudah jarang berada di rumah, bahkan saat Papa di rumah pun mereka selalu bertengkar, seolah tak ada kata damai. Setiap aku bertanya alasan Papa jarang di rumah jawabannya pun selalu sama, sibuk. Selama dua bulan terakhir itu pula aku sering melihat Mama menangis, entah itu di ruang tamu atau meja makan. Dan selama itu pun aku tak pernah mampu menahan kesedihanku.
“Ma, kita liburan yuk” ucapku.
Seketika Mama meletakkan sendok dan garpu yang ada ditangannya, menghentikan sejenak kegiatan makan malamnya.
“Boleh, kamu mau liburan kemana?” balasnya sambil tersenyum.
“Ke pantai yuk Ma, kan uda lama nggak ke pantai. Sebentar lagi Kyra juga liburan semester hehe” ucapku sambil sedikit tertawa.
“Yauda nanti kita atur ya, Mama liat jadwal dulu bisanya kapan” ucap Mama sambil kembali mengambil sendok dan garpu yang diletakkan diatas piring.
“Yeaay. Sama Papa juga kan Ma?”
Mama yang kaget mendengar pertanyaanku langsung meletakkan sendok dan garpu dengan keras, kemudian hening sejenak.
“Nanti coba Mama tanya ke Papa ya, dia bisanya kapan” jawab Mama dengan senyum yang dipaksakan.
“Iya Ma” ucapku sambil berusaha tetap tersenyum.
Setelah selesai makan malam, aku kembali ke kamarku sedangkan Mama bersantai di ruang tamu. Kubaringkan tubuhku diatas kasur, kulihat langit-langit kamarku yang samar-samar terkena cahaya lampu dari luar kamar. Aku hanya terdiam, menikmati heningnya malam. Jika dulu selalu terdengar canda tawa Mama dan Papa dari lantai satu, kini suara itu tak pernah terdengar lagi. Entah sejak kapan semua ini mulai berubah, aku tak menyadarinya. Kurasa aku baru menyadari perubahan itu saat semuanya tak lagi mampu dikembalikan seperti semula, aku terlambat.
Ting! Ting!
“Siap sih?” tanyaku dalam hati sambil meraih ponsel yang berada disebelah kanan, tak jauh dari posisiku berbaring.
“Oh, Devon” ucapku.
“Kyra, uda tidur ya? hehe. Kalau belum balas yaa!”
“Belum tidur nih, ada apa?”
“Oh, belum tidur ternyata hehe. Aku barusan liat poster film terbaru, dari trailernya sih kayaknya oke.”
“Dasar maniak film hehehe” ucapku dalam hati.
“Yayaya, besok aku temenin nonton”
“Padahal aku belum bilang lho hehehe. Yauda besok aku jemput jam 1 siang yaa!”
“Oke”
***
Pukul setengah dua siang, aku duduk di sebuah kursi di foodcourt mall, menunggu Devon yang sedang membeli makanan untuk makan siang kami. Aku memainkan ponsel sambil sesekali memperhatikan suasana sekitar, dan seperti biasanya, mall selalu ramai setiap akhir pekan.
“Nih, pesananmu” ucap Devon sambil memberikan sebuah burger dan minuman bersoda.
“Makasii” balasku.
Devon duduk tepat didepanku sambil memakan burger miliknya.
“Filmnya masih satu jam lagi nih, enaknya ngapain ya?” tanyanya.
Sambil tetap mengunyah makanan, aku memikirkan apa yang akan kita lakukan sambil menunggu film dimulai, karena film baru dimulai pukul setengah tiga.
“Kita ke game center aja yuk? Aku ada kartunya, tinggal isi saldo aja. Gimana?”
“Boleh juga tuh”
Dua puluh menit kemudian kami telah berada di area game center.
“Ayo main basket Ra, let’s see siapa yang lebih jago. Hehe” ucap Devon sambil menunjuk ke arah permainan basket.
“Wah nantangin nih? Ayo, siapa takut!”
Sepuluh menit kemudian.
“Dih, curang ya kamu? Kenapa bisa banyak gitu score nya?” ucapku kesal melihat nilai Devon yang jauh lebih unggul daripada nilaiku.
“Hahahahaha keren ya aku!” ucapnya dengan lantang sambil bergaya seolah dia yang paling jago.
“Nggak! Kamu curang itu!”
Kami pun menghabiskan waktu yang tersisa dengan bermain permainan lainnya. Hingga waktu telah menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit, dan kami harus segera ke bioskop.
***
Seperti biasa, pergi dengan Devon selalu saja menyenangkan. Perasaan sedihku semalam saat melihat Mama tersenyum palsu ketika kusinggung tentang Papa mampu terusir begitu saja.
Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, aku baru saja tiba di rumah. Devon pun telah pergi beberapa menit yang lalu. Namun, belum genap aku membuka pintu rumah, rupanya aku telah disambut oleh keberadaan Papa di ruang tamu.
“Kyra, akhirnya kamu pulang nak” ucap Papa yang sedang duduk di salah satu kursi ruang tamu, sambil tersenyum.
“Duduk disini sayang. Tumben baru pulang?” tanya Mama yang sedang duduk di sofa ruang tamu, tepat didepan Papa.
“Iya Ma, tadi kebagian jadwal film yang sore” jawabku sambil duduk tepat disebelah Mama.
“Ada apa Ma, Pa?”
“Begini Kyra, ada yang mau Papa omongin” ucap Papa, menjawab pertanyaanku.
Detik itu juga jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Meskipun Papa belum melanjutkan ucapannya, entah bagaimana aku seolah tahu arah pembicaraan ini. Dan aku tidak siap dengan kemungkinan terburuk yang selalu kutakutkan.
“Papa sama Mama mau bercerai” ucap Papa dengan nada yang lirih, sambil menatap kearahku.
“Apa??” ucapku dalam hati. Mulutku seolah terkunci, aku tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Aku hanya terdiam, menundukkan kepala untuk sesaat dan membiarkan air dengan derasnya keluar dari kedua bola mataku. Hingga tanpa kusadari aku telah melangkah keluar dari rumah tanpa peduli saat Mama dan Papa mencoba menahanku untuk tidak pergi.
Baru beberapa langkah aku menjauhi gerbang rumah, kudengar suara yang seakan tak asing bagiku.
“Kyra” ucapnya dengan lantang.
Masih dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti, kucari sumber suara tersebut. Saat aku melihat ke belakang, kudapati seorang cowok yang sedang berdiri beberapa langkah dariku, seseorang dengan wajah yang sangat kukenali. Sambil berusaha mengusap wajahku yang penuh dengan air mata, kami berjalan saling mendekat, hingga jarak kami hanya tersisa satu langkah.
“Hah? Kamu?” tanyaku.
“Hai, apa kabar Kyra? Sudah lama ya” ucapnya, sambil tersenyum.
***
——— BERSAMBUNG ———
Part Selanjutnya :
Baca Juga:
lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki
untung dua lelaki, kalo dua wanita jadinya poligami