[Part 4] Dua Lelaki
Cerpen

[Part 4] Dua Lelaki


Judul: Dua Lelaki
Karya: ViaViiaa

Part Sebelumnya :

 


Tiga bulan berlalu sejak hari dimana Papa mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan. Perceraian Papa dan Mama pun berjalan lancar, kini mereka telah resmi bercerai. Papa memilih pindah ke luar kota untuk memperluas bisnisnya, sedangkan aku dan Mama masih tetap di Jakarta, di rumah yang sama. Meskipun menyakitkan, perlahan aku mulai dapat menerima kenyataan pahit ini. Setidaknya kini aku sering melihat Mama tersenyum dengan tenang, seolah tanpa beban.

“Ma, aku berangkat dulu yaa”.

“Iya sayang, hati-hati yaa. Salam buat Devon.” ucap Mama yang sambil tetap merapihkan tas kerjanya.

“Iyaa Ma” ucapku yang kini telah keluar dari rumah dan menuju pintu gerbang.

Kulihat Devon yang sedang menunggu diatas motor sambil sesekali memperbaiki rambutnya.

Semenjak aku menceritakan tentang perceraian Papa dan Mama, dia selalu menjemput dan mengantarku pulang. Awalnya aku menolak karena aku tahu rumah dia berlawanan arah denganku jika dari kampus, tapi penolakanku tak berhasil. Karena nyatanya dia selalu saja datang setiap pagi tanpa memberitahuku dan selalu menungguku didepan kelas terakhir.

Kini kurasa aku sadar apa tujuan Devon melakukan itu semua. Kurasa dia hanya tak mau jika aku merasa sendiri dan terbebani dengan perceraian Papa dan Mama.

“Devon” panggilku, memecah konsentrasi Devon yang sedang merapihkan rambut.

“Eh, pagi Ra” ucapnya sambil tersenyum tipis.

“Ngapain sih dari tadi benerin rambut mulu? Biasa juga bodo amat mau rambut model kek gimana? hahaha” ucapku sambil sedikit mengacak rambutnya.

“Dih, jangan dirusakin dong Ra!” ucapnya kesal.

“Ntar juga kamu tau sendiri hehe” lanjutnya.

“Apaan sih? Kenapa ngga kasih tau sekarang aja?” ucapku mendesaknya.

“Udalah ntar aja, yuk berangkat. Uda siang nih, ntar telat loh.”

“Mengalihkan pembicaraan deh, masih pagi begini dibilang siang” ucapku sambil menaiki motor dan melihat jam tangan yang masih menunjukkan pukul tujuh pagi.

“Hahahaha, yuk berangkaat” ucapnya dengan penuh rasa puas karena berhasil mengalihkan pembicaraan dan tidak menjawab pertanyaanku.

“Ohya, dapat salam dari mama”

“Iya tante, kapan-kapan Devon mampir lagi hehehe”

***

“Kyra, coba kamu liat cewek itu” ucap Devon yang menghentikan langkah kakiku saat kami tiba di persimpangan koridor kampus.

“Yang mana?” tanyaku sambil memperhatikan beberapa cewek yang berada didepan kami.

“Itu, cewek yang rambut panjang pakai baju putih, celana coklat”

Aku memperhatikan beberapa cewek didepan kami, mencari cewek yang dimaksud oleh Devon. Hingga kudapati dia sedang berdiri sendirian didepan sebuah kelas yang jaraknya tak jauh dari kami.

“Ohh, yaya. Dia kenapa?”

“Namanya Anne, sebenernya aku uda perhatiin dia dari awal kuliah tapi baru bisa kenalan sama dia sekitar dua bulan yang lalu. Menurut kamu gimana?” tanyanya penuh antusias.

“Hah? Maksudnya gimana?” tanyaku yang tak mampu memahami maksud pertanyaan Devon.

“Aduh, aku suka sama dia. Menurut kamu gimana?” tanyanya lengkap dengan pipi yang sedikit memerah.

“Suka? Sejak kapan?”

“Yaa ngga tau sejak kapan, yang kutahu dari awal aku suka perhatiin dia”

Mendengar pernyataan Devon yang mendadak itu berhasil membuatku sangat kaget, dan entah bagaimana hatiku rasanya sakit. Aku hanya terdiam untuk sesaat, tak tahu harus menjawab apa.

“Kyra” panggil Devon yang memecah lamunan sesaatku.

“Ya?” tanyaku yang seolah lupa dengan semua kalimat dan pertanyaan yang beberapa detik lalu Devon katakan.

“Si Anne, gimana menurut kamu?”

“Oh, cantik sih” jawabku singkat.

“Iya sih, memang cantik hehe”

“Yauda aku ke kelas dulu ya” ucapku sambil beranjak pergi meninggalkan Devon, menuju koridor lain yang berlawanan arah dengan koridor tempat cewek tersebut berdiri.

“Eh? Iya, oke” ucapnya singkat sambil tetap melihat ke arah Anne.

Aku berjalan sendiri menyusuri koridor kampus menuju kelas. Entah apa yang sedang Devon lakukan sekarang, aku tak mau tahu. Karena pikiranku pun telah dipenuhi oleh banyak pertanyaan atas sebuah perasaan aneh yang menyakitkan.

***

Sambil berjalan keluar dari kelas terakhir, sebuah perasaan aneh kembali muncul. Entah perasaan ini datang darimana, aku takut jika keluar dari kelas ini tak ada lagi sosok Devon yang menungguku seperti yang dia lakukan selama tiga bulan terakhir ini.

Namun tampaknya itu hanyalah kekhawatiran tak beralasanku, karena pada kenyatannya dia masih menungguku.

“Kyraa, mau pulang sekarang?” tanyanya dengan penuh semangat.

Aku terdiam sejenak, perasaan aneh kembali merasuki diriku. Sebuah perasaan takut akan kehilangan seseorang yang penting bagiku.

“Nonton yuk?” tanyaku.

“Eh? Tumben kamu pengen nonton? Biasanya aku ajakin dulu baru mau” ucapnya sambil memasang ekspresi seolah sedang berpikir.

“Gapapa, aku lagi pengen nonton aja. Yuk?”

“Oke deh, yuk berangkaat!” ucapnya dengan penuh semangat.

Tiga puluh menit berlalu, kami pun tiba di sebuah mall yang tak jauh dari kampus kami. Sejujurnya aku sama sekali tak tahu harus menonton film apa. Berbeda dengan Devon yang maniak film, aku sama sekali tak pernah tahu update tentang film apa saja yang kini sedang tayang.

Sampai di bioskop, aku akhirnya memilih film secara acak. Masih ada waktu sekitar lima belas menit hingga kami dipersilahkan masuk ke dalam studio. Aku dan Devon menunggu di sebuah tempat duduk panjang tak jauh dari studio yang tercatat di tiket kami.

Ting! Ting!

“Kyra, nanti malam bisa ketemu? Aku besok pagi harus balik ke Surabaya” tulis Vino dalam pesan yang ia kirimkan padaku.

“Balik besok pagi? Mendadak banget!” ucapku dalam hati.

“Nanti malam bisa, tapi jam 8 yaa” balasku.

“Oke, jam 8 aku ke rumah kamu” balas Vino.

Entah bagaimana pesan singkat Vino kembali menimbulkan sebuah perasaan aneh muncul dalam diriku.

***

Pukul delapan malam lebih, aku baru saja tiba di rumah. Kemacetan Jakarta yang lebih dari biasanya membuatku terlambat sampai rumah.

“Vino?” panggilku. Memastikan apakah orang yang kulihat adalah benar Vino atau bukan. Karena tepat ketika aku baru saja turun dari sepeda motor Devon, kulihat seseorang duduk diatas sepeda motor yang tak asing bagiku.

“Hei, Kyra” balasnya. Benar, dia adalah Vino dan entah sudah berapa lama dia menunggu disitu.

“Kamu uda lama nungguin?”

“Yah, sekitar sepuluh menit yang lalu” ucapnya sambil melihat jam di tangan kirinya.

“Siapa?” lanjut Vino sambil menunjuk ke arah Devon.

“Oh, ini Devon, teman kampusku. Devon ini Vino, kakak kelasku waktu SMA.” ucapku memperkenalkan masing-masing, kemudian mereka saling berjabat tangan.

“Ini Devon, makasih yaa” lanjutku sambil mengembalikan helm yang kugunakan.

“Sama-sama, yauda aku balik dulu ya Ra” ucap Devon sambil melambaikan tangan kanannya.

“Iya, hati-hati” balasku lengkap dengan lambaian tangan kananku.

Setelah punggung Devon tak lagi terlihat, kualihkan pandanganku kepada seseorang yang dari tadi telah menunggu didepan rumah.

“Kita masuk ke rumah aja atau mau pergi ke tempat lain?” tanyaku.

“Kita ke ancol aja yuk? Seperti waktu itu” ucap Vino lengkap dengan senyum tipisnya.

“Yauda, yuk” ucapku penuh semangat karena mengetahui tujuan kami adalah pantai.

***

Aku memperhatikan sekeliling, merasa ada yang kurang dari pemandangan pantai yang biasanya indah bagiku. Bulan dan bintang, mereka hari ini tak menampakkan cahayanya sehingga membuat pantai tak seindah biasanya.

Aku dan Vino duduk dipinggir jalanan kayu, sebuah spot favorit kami. Karena dari tepi jalanan kayu inilah kami dapat menggantungkan kaki diatas air laut, menikmati luasnya lautan dan keheningan di malam hari.

“Ini Kyra” ucap Vino sambil memberikan sebuah kotak kecil berwarna merah muda.

“Apa ini?” ucapku sambil menerima kotak tersebut, kemudian aku buka secara perlahan.

“Kalung?” tanyaku, sambil memperhatikan kalung dengan liontin berbentuk bintang tersebut.

“Iya, aku mau kasih itu buat kamu sebagai kenang-kenangan.”

“Kenapa tiba-tiba kasih beginian? Emangnya kamu ngga bakal balik ke Jakarta lagi?” tanyaku yang penuh dengan rasa penasaran atas ucapan Vino.

“Entahlah, aku ngga tau bisa balik kesini lagi atau enggak. Urusanku di Surabaya setelah ini akan banyak banget.”

“Emangnya urusan apa?”

Vino hanya terdiam, kemudian melihat ke arahku dan tersenyum.

“Aku ngga bisa bilang sekarang” ucapnya singkat, dengan tetap mempertahankan senyum di bibirnya.

“Sebenarnya aku masih penasaran banget, tapi kalau kamu bilang begitu yauda aku ngga akan tanya lagi” ucapku sambil memalingkan wajahku melihat ke arah lautan luas.

“Makasih ya. Sini kalungnya aku pasangin.” ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya.

Kulihat wajah Vino yang tersenyum namun entah bagaimana hatiku rasanya sakit. Aku seolah merasakan kesedihan dibalik senyuman itu, sebuah kesedihan yang aku pun tak tahu kesedihan atas apa. Kuberikan kalung yang dari tadi kupegang di tangan kananku, kemudian Vino memasangkannya di leherku.

“Kalungnya cantik” ucap Vino sambil memperhatikan kalung dengan liontin bintang tersebut.

“Yang pakai juga cantik” lanjutnya.

Mendengar kalimat tersebut sontak aku memalingkan pandangan ke arah Vino. Kulihat wajahnya yang tersenyum tipis, namun tak mampu menyembunyikan pipi yang memerah, hingga tanpa kusadari pipiku pun perlahan mulai memerah.

“Kamu jaga diri baik-baik ya Kyra” ucapnya.

“Iya, kamu juga jaga diri baik-baik ya. Semoga urusannya bisa cepat selesai dan makasih juga untuk kalungnya”

“Iya, sama-sama.”

Malam yang begitu panjang terasa sangat singkat bagiku. Dan Vino akhirnya kembali meninggalkanku seperti tiga tahun yang lalu. Berbedanya, kini ia berpamitan.

***

 

 

——— BERSAMBUNG ———

Part Selanjutnya :

 

Baca Juga:

lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki lelaki


5 thoughts on “[Part 4] Dua Lelaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top