Judul: RUN ( Running from you? or Running without you? )
Karya: ViaViiaa
Part Sebelumnya :
Tujuh tahun yang lalu, di Indonesia . . .
“Untuk apa kursus bahasa Korea?” tanya ibu ketika mendengar permintaanku beberapa detik yang lalu.
Ayah, Ibu, aku, dan dua adikku sedang makan bersama di lantai beralaskan karpet berwarna biru tua.
“Aku mau jadi fashion stylist bu” jawabku pelan.
“Memangnya harus belajar bahasa Korea?”
“Karena aku mau jadi fashion stylist idol Korea”
“Hah?” tanya Ibu yang masih belum sepenuhnya mampu memahami maksud perkataanku.
“Intinya aku sangat ingin belajar lebih jauh tentang fashion style ala Korea, salah satu cara terbaik untuk itu ya dengan kuliah disana. Dan aku harus bisa bahasa Korea kalau mau kuliah disana.” ucapku pelan namun tetap mampu terdengar dengan jelas.
“Apa? Kuliah disana? Nggak! Ngga boleh!” ucap Ibu lantang.
Mendengar kalimat tersebut sontak membuatku kaget, namun aku hanya mampu terdiam, tidak ingin membantah.
Sayangnya tekadku telah bulat, tanpa sepengetahuan Ibu aku melakukan kerja part time untuk mendapatkan uang demi membiayai kursus bahasa Korea. Kegiatanku di bangku kelas tiga SMA benar-benar sibuk, mulai dari belajar demi kelulusan, kursus bahasa Korea setiap hari Minggu, bekerja part time setiap pulang sekolah, dan juga mempersiapkan semua persyaratan yang dibutuhkan untuk mendapatkan beasiswa kuliah di Korea Selatan.
Begitu padatnya kegiatan tersebut membuatku lupa dengan kesehatan yang juga tidak kalah penting. Hingga suatu hari aku merasa sangat kelelahan kemudian pingsan ketika baru saja keluar kamar untuk pergi kursus. Sontak Ayah dan Ibu langsung membawaku ke rumah sakit. Beruntung bukan hal buruk, aku hanya perlu menginap semalam untuk memulihkan kondisiku.
Namun, hari itu akhirnya Ayah dan Ibu mengetahui semua yang kulakukan selama ini.
Selain karena mereka yang rupanya telah curiga karena belakangan aku hampir jarang berada di rumah, juga karena aku tak punya pilihan lain. Jika sudah ditanya seperti ini, menceritakan semuanya adalah satu-satunya yang bisa kulakukan. Karena dari awal niatku hanya tidak ingin bercerita, bukan untuk berbohong.
“Maafkan Ibu nak, sebenarnya bukan Ibu tidak mendukung keinginanmu, tapi karena kondisi keuangan kita yang tidak mampu untuk membayar biaya kursus apalagi kuliahmu disana. Kalau kuliah di Indonesia Ayah dan Ibu masih sanggup karena sudah disiapkan, tapi kalau untuk di Korea Selatan, perbedaan biayanya pasti sangat jauh nak.” ucap Ibu yang berada di sebelah kananku, lengkap dengan tangisan yang tak lagi mampu dibendung.
“Ayah juga minta maaf ya nak karena sudah gagal memenuhi keinginanmu. Andai saja gaji Ayah besar, pasti akan Ayah penuhi keinginanmu” ucap Ayah yang duduk di sebelah kiriku sambil menunduk dan menggenggam lengan kiriku.
Detik itu juga air mataku terjatuh, melihat betapa Ayah dan Ibu merasa bersalah, padahal tidak ada yang salah. Karena sungguh aku melakukan ini semua pun dengan senang hati.
“Ayah, Ibu, tidak perlu minta maaf. Safira melakukan ini semua dengan senang hati kok. Meskipun awalnya aku tidak tahu alasan pasti kenapa Ibu menentangku, tapi entah kenapa aku merasa kalau itu pasti karena biaya. Dan aku mengerti itu.”
Sontak Ayah dan Ibu melihat kearahku, memandangku dengan penuh haru.
“Tapi Safira sangat ingin kuliah disana. Ayah dan Ibu ngga perlu khawatir soal biaya. Karena niatku memang akan mendaftar melalui jalur beasiswa. Cuma satu hal yang Safira minta, restu Ayah dan Ibu.” ucapku lengkap dengan senyuman dan air mata yang kembali terjatuh.
Detik berikutnya Ibu langsung memelukku, kemudian diikuti oleh Ayah.
“Tentu sayang, Ayah dan Ibu restui. Doa kami selalu menyertaimu nak.” ucap ibu ditengah isak tangisnya.
Sejak saat itu Ibu selalu memperhatikan kesehatanku. Mengingatkanku untuk beristiraht setiap kali terlihat lelah, memberiku vitamin yang harus diminum setiap hari.
Hingga kabar bahagia itu pun datang.
Aku mendapat beasiswa penuh dan diterima di salah satu universitas yang berada di Seoul, Korea Selatan.
Kehidupanku di Seoul baik-baik saja, aku memilih tinggal di goshiwon yang tidak terlalu jauh dari kampus karena biayanya yang lebih murah daripada asrama kampus. Mendapat beasiswa penuh rupanya tidak mampu memenuhi semua biaya kebutuhanku, meski telah berhemat sekalipun.
Beruntung aku dapat bekerja part time dengan bantuan kampus sebagai perantaranya. Aku bekerja di salah satu toko pakaian yang tidak jauh dari kampus. Cukup banyak persyaratan yang harus kupenuhi sebelum akhirnya mendapatkan pekerjaan tersebut. Namun tidak masalah, selama itu dapat menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhanku.
Karena sejak menginjakkan kaki di Seoul, aku telah bertekad untuk tidak lagi meminta uang kepada orang tuaku kecuali dalam kondisi darurat. Karena bagiku mendapat restu untuk kuliah dan menjalani kehidupan di negara lain saja sudah sangat mahal harganya.
Masa-masa kuliah lebih banyak kuhabiskan dengan buku dan pakaian. Semakin menenggelamkan diriku dalam dunia fashion stylist. Mempelajari bagaimana cara menentukan pakaian serta aksesoris yang sesuai dengan karakter seseorang, memahami tema acara untuk menentukan konsep penampilan, dan masih banyak lainnya.
Setiap ada perlombaan fashion stylist pun selalu kuikuti.
Dari sekian banyak perlombaan yang kuikuti, hanya satu yang mampu kumenangkan. Namun kemenangan itu sangatlah berharga karena aku mendapatkan juara satu. Dan kemenangan itu pula yang nyatanya mampu membuatku menjadi lebih mudah menggapai keinginanku.
Setelah lulus kuliah aku langsung bekerja sebagai asisten fashion stylist yang bekerja di sebuah agensi ternama. Dari sinilah aku semakin mendalami pekerjaan seorang fashion stylist. Satu tahun berlalu, aku melamar bekerja di salah satu agensi yang terbilang baru, karena memang baru berdiri bersamaan ketika aku kuliah.
Akhirnya aku tidak lagi menjadi asisten, namun kini aku bekerja sebagai fashion stylist.
——— BERSAMBUNG ———
Part Selanjutnya :
Baca Juga:
run run run run run run run run
4 thoughts on “[PART 4] RUN”