[PART 3] RUN
Cerpen

[PART 3] RUN


Judul: RUN ( Running from you? or Running without you? )
Karya: ViaViiaa

Part Sebelumnya :

 


Tur album baru VOP akhirnya selesai, setelah hampir enam bulan berpindah dari negara satu ke negara lainnya, kini saatnya untuk kembali ke Seoul.

Ting!

“Noona, besok aku tunggu di atap gedung jam delapan malam ya” isi pesan dari Jung-Hwa.

“Ada apa?” balasku.

“Ada yang mau aku omongin. Sangat Penting 🙂 “

“Oke”

“Sangat penting? Dia mau ngomong apa?” tanyaku dalam hati.

Keesokan harinya, aku tiba pukul 7:45 malam di atap. Namun tak ada siapapun disana. Aku menunggu di kursi panjang yang biasa kududuki setiap datang ke atap gedung. Menikmati suasana malam yang tenang, dan lampu dari gedung-gedung di kota Seoul.

Pukul sembilan malam, Jung-Hwa tak kunjung datang. Dihubungi pun tidak ada jawaban. Aku akhirnya memutuskan untuk pulang.

“Kenapa ngga ada kabar sih?” tanyaku sambil memperhatikan layar ponselku, berharap setidaknya ada satu pesan yang Jung-Hwa kirimkan.

Dan entah bagaimana perasaanku menjadi tidak enak.

“Semoga dia baik-baik saja”

Tiba di lantai dasar, aku menyusuri lorong yang sedikit gelap karena memang tak ada lagi aktifitas di agensi malam itu. Hingga aku mendapati cahaya yang begitu terang dari sebuah ruangan.

“Itu sepertinya dari practice room, tapi kenapa jam segini masih nyala? Emang ada yang latihan? Perasaan semua idol libur deh hari ini.”

Namun, semua pertanyaan itu terjawab saat aku tiba tepat didepan ruangan tersebut, melihat dari jendela lebar dengan kaca bening yang membuatku dapat dengan jelas melihat apapun yang ada didalam sana.

Setelah melihat beberapa saat untuk memastikan kedua bola mataku tidak salah, yang dapat kurasakan pada detik berikutnya hanyalah rasa sakit. Hatiku seolah tercabik bertubi-tubi membuatnya terasa sangat menyakitkan. Air mata pun tak lagi mampu kubendung.

Dengan segera aku meninggalkan gedung agensi dan pulang ke apartemen.

“Jung-Hwa, kenapa? Kenapa kamu ngelakuin itu? Apa kamu lupa kalau aku sudah nungguin kamu diatap satu jam lebih”

Aku tak lagi peduli dengan keberadaan supir taksi didepanku. Tangisku semakin kuat saat pikiranku terus mengulang kejadian beberapa saat yang lalu. Ketika kedua mataku sendiri melihat Jung-Hwa dengan seorang perempuan yang entah siapa, sedang berciuman.

Kulihat gelang ditangan kananku, sangat indah namun disaat yang sama pula berhasil membuat hati ini semakin sakit.

Tiba di apartemen, yang mampu kulakukan hanyalah membiarkan suara tangisanku menyatu dengan keheningan malam, memenuhi ruangan kamarku dengan isak tangis yang masih sulit untuk kuhentikan. Karena sungguh perasaan ini sangat menyakitkan.

Hampir satu tahun aku dekat dengan Jung-Hwa, bukan aku yang mendekatinya pertama kali. Tapi dialah yang mendatangiku dahulu, bahkan sampai detik ini pun aku tak tahu atas dasar apa dia mendekatiku. Yang mampu kupahami hanyalah sikap dia yang selalu berhasil membuat hatiku hangat. Hingga tanpa sadar aku melewati batas yang seharusnya tidak boleh kulewati, membiarkan perasaan itu tumbuh semakin dalam setiap harinya.

Keesokan harinya dering telepon terus berbunyi dari ponselku sejak pagi hari. Aku tahu itu dari agensi karena siangnya VOP harus tampil dalam sebuah acara musik. Seolah tak peduli aku benar-benar tidak menghiraukan semua telepon dan pesan yang masuk. Membiarkan ponselku tergeletak di meja kerja tanpa kusentuh sedikitpun, membiarkannya berdering terus-menerus hingga kehabisan daya. Aku tidak peduli.

Membayangkan harus berada dalam gedung yang sama dengan Jung-Hwa saja sudah menyakitkan, apalagi harus bertemu dan menata penampilannya. Tidak, aku benar-benar tidak bisa. Bayangan kejadian semalam masih sangat jelas dalam ingatanku, begitu pula dengan rasa sakitnya.

Untuk kesekian kalinya, air mataku kembali terjatuh dengan derasnya.

Dua hari berlalu, ini hari ketiga aku tidak pergi bekerja. Masih tak punya kekuatan untuk kembali bekerja, ponsel yang tergeletak di meja kerja pun masih aku diamkan dalam keadaan mati. Namun, seolah merasakan firasat buruk, entah bagaimana aku ingin sekali memeriksa email, berpikir mungkin ada berita penting.

Kunyalakan laptop di meja kerjaku, kemudian langsung membuka email. Dan benar saja, berita buruk kedua setelah kejadian kemarin rupanya baru saja dikirimkan semalam.

 

Sebuah Surat Peringatan Pertama.

 

Tidak sepenuhnya kaget karena dari awal aku yakin akan menerima surat ini. Karena bahkan sebelum mulai bekerja pun aku sudah sangat paham tentang betapa ketatnya aturan bekerja dalam dunia hiburan, tidak bisa main-main. Apalagi tidak datang bekerja seenaknya tanpa ijin, jelas fatal.

“Safira bodoh!” ucapku lantang, merutuki diri sendiri atas semua kebodohan yang kulakukan berkali-kali.

Bagai jatuh tertimpa tangga, kini tak hanya hatiku yang merasakan sakit, namun juga karirku yang telah tercoreng.

Sebuah karir yang telah susah payah aku raih sejak masih dibangku sekolah.

Tapi aku terlalu takut untuk kembali bekerja. Takut jika perasaan sakit ini semakin dalam ketika harus bertemu lagi dengannya.

“Apa aku resign aja?”

“Ah, tapi kontrakku baru selesai dua bulan lagi. Kalau resign sekarang artinya aku harus bayar uang penalti dong?!”

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, kembali merutuki diri sendiri yang tak tahu harus berbuat apa dalam situasi ini. Seperti buah simalakama, pilihan manapun yang kupilih sama sekali tidak menguntungkan.

 

 

 

——— BERSAMBUNG ———

Part Selanjutnya :

 

Baca Juga:

run run run


4 thoughts on “[PART 3] RUN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top