Aku tidak ingin merasa iri pada siapapun, tapi nyatanya hal tersebut tak mampu sepenuhnya kuhindari.
Pembahasan tentang wisuda masih menjadi “hal menyedihkan” bagiku, yang bahkan sampai detik aku menulis ini pun aku masih menangis.
Seperti yang telah kusinggung di post ini, ada kegiatan prawisuda yang diadakan kampus. Dimana tujuannya untuk dokumentasi foto, yang rupanya foto tersebut juga digunakan nanti saat wisuda online, ketika memanggil nama mahasiswa.
Oke, tapi bukan disitu letak permasalahannya.
Namun, pada diriku sendiri yang selalu merasa terbawa suasana, larut dalam kesedihan.
Sebenarnya apa sih yang aku harapkan dari sebuah wisuda?
Aku punya tiga sahabat, mereka semua uda wisuda lebih dulu daripada aku. Memang aku tidak bisa datang langsung karena kondisi, tapi aku tetap memberikan mereka bingkisan kecil untuk hadiah ( eh tapi sahabatku yang satunya engga ku kasih karena beda kota, dan aku belum sempat membeli sesuatu saat itu, karena bingung juga ngasihnya gimana, maap hiks ). Kemudian tentu saja aku melihat foto-foto mereka di sosial media, foto pakai toga, bawa hadiah, bawa bunga, foto rame-rame, terlihat sangat menyenangkan. Sedikitnya aku merasa iri akan hal-hal tersebut.
Aku juga ingin merasakan suasana tersebut.
Saat prawisuda, aku pikir hanya foto dengan dekan dan foto dokumentasi sendiri, tapi ternyata ada sesi foto bersama pendamping wisuda ( yang ini optional sih ). Aku melihat orang lain datang bersama orangtua, atau mungkin pasangan mereka, sedangkan aku datang sendirian. Semakin menyedihkan lagi saat ditanya petugas atau panitia kegiatan “orangtuanya mana?”, atau “pendampinya mana?”, seolah memperjelas kalau aku datang sendirian. Aku jelas skip sesi foto yang terakhir, karena untuk apa? Tujuan foto itu adalah untuk foto bersama pendamping wisuda, sedangkan aku datang sendirian, jadi tidak ada gunanya kan?.
Sahabat-sahabatku juga sama saja, terutama yang satu kota. Ketika sedang telepon atau chat kemudian tanpa sengaja membahas tentang wisuda, yang mereka bahas justru tentang wisuda yang batal, bukan tentang kapan aku wisuda, atau mungkin bertanya mau kado apa (?) Nah, lupakan. Aku tidak akan berharap lebih, memang apa untungnya bagi mereka kalau memberikanku hadiah atau subuket bunga? Karena aku bahkan mungkin bukan orang yang penting bagi mereka. Entahlah aku selalu merasa seperti itu, my bad.
Terkadang aku jadi penasaran, bagaimana ya rasanya memiliki seseorang yang selalu memprioritaskanmu sebagai nomor satu?
Sungguh menyebalkan sekali memiliki perasaan seperti itu, seolah tidak punya rasa syukur. Aku sangat ingin menghilangkan perasaan itu, tapi rasanya susah untuk menghilangkan semuanya.
Nyatanya kondisiku bukanlah yang terburuk, masih ada orang lain yang mungkin justru memiliki kondisi lebih buruk dariku. Seharusnya aku bersyukur, setidaknya masih mampu pergi ke kampus tanpa kendala apapun. Masih mampu berhasil lulus dengan nilai yang lumayan dalam waktu empat tahun.
Seharusnya aku bersyukur. Bukan malah merasa iri pada hal-hal yang tidak mampu kumiliki.
Itulah sebabnya terkadang aku merasa malu pada diri sendiri yang masih saja merasa memiliki masalah paling berat, padahal masih ada orang lain yang mungkin memiliki masalah lebih berat dariku.
Terimakasih sudah membaca keluh kesahku 🙂
Ohya, aku ada bikin cerita loh di Wattpad, judulnya Love Sign. Yuk dibaca gengs, aku butuh banyak masukan nih 🙂