“Keheningan dalam Pertemuan”
Sabtu, 03 Februari 2018
Bagaimana kabarmu Evan?
Semoga selalu sehat ya,.
Ingatkah kamu beberapa hari yang lalu?
Rabu lalu saat kita berada pada satu acara.
Serius, aku tak menyangka akan menemukanmu ditengah keramaian itu.
Dan lagi, aku tak menyangka jika perusahaan tempat kita bekerja rupanya saling bekerjasama.
Ah, aku masih ingat betul detik itu.
Detik ketika mata ini tanpa sengaja menemukanmu.
Dan di detik yang sama pula, kamu menatapku.
Mata kita saling bertemu meski hanya dalam hitungan detik.
Ingin sekali rasanya aku menyapa, atau mungkin kamu yang menyapa, kemudian kita ngobrol banyak hal dan seolah sedang melakukan reuni kecil.
Sayangnya kenyataan tak selamanya berpihak pada keinginan manusia.
Setelah tatapan mata itu, kamu langsung pergi, berjalan menjauh dari penglihatanku.
Aku ragu Evan.
Apakah saat itu kamu benar-benar melihatku? Namun, kenapa kamu langsung pergi? Apa kita tidak bisa setidaknya menjadi teman biasa yang kemudian bersikap biasa saja ketika bertemu?
Tak lama setelah itu kita bertemu lagi.
Lebih tepatnya atasanku ingin memperkenalkanku pada leader dari proyek besar yang baru-baru ini ramai dibicarakan semua orang di kantor.
Dan leader itu rupanya kamu ya, Evan.
Kita saling bersalaman seolah bertemu sebagai orang baru, bukan bertemu sebagai teman lama.
Kamu bahkan tak mengatakan satu kata pun tentang pertemanan kita di masa lalu.
Apa sebegitu tak berartinya masa lalu itu bagimu?
Ya, aku tahu perasaan ini memang bertepuk sebelah tangan sejak awal. Tapi bukan berarti kamu bisa dengan mudah melupakan temanmu kan?
Anggap saja aku ini sebagai temanmu, it’s okay. Aku bisa terima itu.
Sepanjang malam aku tak bisa berhenti memikirkanmu.
Aku bahagia melihatmu baik-baik saja.
Namun dilain sisi hati ini kembali merasakan sakit.
Kenapa diantara perbincangan cukup panjang malam itu menyimpan keheningan diantara kita?
Aku, kamu dan mereka yang sedang bersama kita malam itu, kita semua berbincang-bincang dengan mudahnya seolah tak pernah ada masalah antara satu dengan yang lainnya.
Dan itu pun terjadi padamu. Berbicara dengan mudah seolah kita tak pernah mengenal sebelumnya.
Sakit, Evan. Aku lebih baik kamu anggap sebagai teman di masa lalu daripada seperti ini yang seakan tak mengenal sama sekali.
Ternyata aku sama sekali tak punya arti sedikitpun bagimu. Bahkan sebagai teman pun tidak.
Sampai jumpa di surat berikutnya Evan.
From The Deepest of My Hearth,
Via.